Apa yang menjadi ciri khas mahasiswa? “Kritis,” jawab salah seorang teman diskusi. Secara lebih spesifik, apa yang menjadi ciri khas dari mahasiswa sains atau kalau mau diistilakan sebagai seorang saintis? Dalam segi pemikiran atau bahkan tindakan, apa yang membuatnya berbeda dengan mahasiswa yang lainnya? Sejauh ini apakah identitas sebagai mahasiswa sains cukup mencolok atau hanya sekedar ada dalam kartu tanda mahasiswa yang seharga Rp.100.000 itu? Atau sering memakai baju Laboratorium? Sebagai salah seorang mahasiswa sains saya pikir, sejauh ini pada diri saya yah hanya KTM dan baju lab itu saja.
Pertama-tama setelah membaca sebuah tulisan yang menyoroti soal matinya salah satu organisasi besar yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya merasa bahwa tidak ada yang salah dari tulisan tersebut. Apa yang diungkapkan salah seorang guru besar UINAM yaitu Prof. M Qasim Mathar dalam tulisan itu adalah sebagaimana adanya. Sebagai salah seorang kader HMI (yang tidak punya sumbangsi) saya merasa tersinggung dan memang kiranya menjadi pemantik untuk melakukan intropeksi diri. Meskipun sebenarnya saya kira para kakanda-kakanda lebih punya power untuk melahirkan kembali HMI sebagaimana dia adalah “Harapan Masyarakat Indonesia”.
Berbicara soal intropeksi diri, banyak hal yang menurut saya perlu untuk disematkan padanya. Selain organisasi besar semacam HMI, organisasi semisal Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) saja tentu tidak ada salahnya untuk melakukan upaya evaluasi diri. Jangan-jangan dari organisasi sederajat HMJ yang cakupannya hanya dalam lingkup satu jurusan saja terdapat orang-orang yang sudah kehilangan harapan pada organisasinya sendiri.
Tujuan setiap orang tentunya berbeda-beda. Namun, dalam lingkup sebuah organisasi atau kelompok meniscayakan adanya tujuan bersama. Semisal di HMI yang mengharapkan terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan seterusnya. Mungkin kalau dilihat lebih jauh lagi, salah satu alasan dari Prof Qasim mengutarakan pendapatnya mengenai “kematian HMI” adalah karena adanya sejumlah kader dalam organisasi itu sendiri bergerak menjauh dari apa yang ditujunya, kader-kader menjadi kehilangan identitasnya.
Jika ditarik kembali dalam organisasi skala lebih kecil yaitu HMJ atau yang sederajatnya, pertanyaan yang sama bisa saja dihadirkan. Sebab dimanapun, sebuah organisasi memiliki satu tujuan di dalamnya, kehilangan tujuan sudah pasti kehilangan arah.
Untuk melahirkan sebuah tujuan bersama maka mustahil ia lahir tanpa melalui sebuah proses yang dialektis. Ia merupakan buah dari sebuah diskusi serta kesepahaman dari orang-orang yang tergabung didalam organisasi tertentu. Contohnya HMJ-Fisika UINAM sebagai salah satu organisasi skala jurusan di Fakultas Saintek di UIN Alauddin Makassar yang memiliki tujuan menciptakan kader yang militan, progresif dan berintelektual.
Sebuah kesyukuran tersendiri tergabung dalam organisasi dengan tujuan salah satunya menjadi kader yang berintelektual. Sebuah tujuan yang cukup menarik dan sejalan dengan identitas awal setiap kader sebagai seorang mahasiswa. Hanya saja pertanyaan paling awal kiranya belum mampu untuk saya sendiri jawab, identitas sebagai seorang mahasiswa sains dimana? Identitas demikian mesti memperoleh jawaban.
Menurut sejarahnya, revolusi sains yang diungkapkan oleh Thomas Kuhn terbagi dalam lima tahapan yaitu: Pra-paradigma, sains normal, krisis, paradigm shift dan kembali pada sains normal. Revolusi sains itu sendiri diartikan sebagai sebuah situasi untuk menggantikan gagasan-gagasan besar pada waktu tertentu dengan gagasan-gagasan yang baru. Sementara sains normal dianggap sebagai sebuah pencapaian dikarenakan keunggulannya untuk menyelesaikan banyak permasalahan[1].
Rasa-rasanya tidak nampak dalam istilah “intelektual” sebagai kata yang maknanya tidak hanya dimiliki oleh seorang saintis. Mahasiswa tanpa terkecuali dari jurusan atau fakultas manapun tentu ingin menjadikan kata intelek disandangkan padanya. Sayapun juga mau tentunya, kuliah 6 tahun kok tidak ada bedanya dengan sebelum kuliah, apalagi kalau sudah sarjana nantinya (Amin), tentu lebih malu dong.
Sekarang kembali ke identitas sebagai mahasiswa sains atau saintis. Sebagai mahasiswa Fisika yang tidak terlepas pada identitas saintis itu, apa yang khas padanya? HMJ-Fisika sebagai sebuah organisasi apakah sejauh ini mempunyai arah yang tidak melepaskan identitasnya sebagai mahasiswa ataupun saintis? Kalau boleh jujur, identitas itu belumlah nampak di permukaan untuk saat ini. Maka sebagai upaya kembali pada identitas yang melekat tersebut, intropeksi bisa menjadi langkah awal dan ruang diskusi bisa menjadi tempat kembali bertukar pikiran satu sama lain: apakah saya pribadi dan beberapa kawan saja yang melihatnya demikian atau tidak?.
Referensi:
[1]R. W. Martunus, “Struktur Revolusi Sains Thomas Kuhn”, Falsafah Kita.
Editor: Putri Nur Sabrini Anastasia