Pendapat Rocky Gerung Mengenai SE, Skorsing dan Rektor UIN Alauddin Makassar

Berpikir kritis merupakan salah satu sifat yang harus di miliki oleh mahasiswa, namun apakah mahasiswa masih mampu mencapai hal tersebut jika tidak di tunjangi dengan baik oleh pihak kampus dan malah sebaliknya mencoba membatasi pikiran-pikiran yang ada pada mahasiswa.

Pada kesempatan kali ini, sedikit kita akan melihat respon salah satu tokoh akademisi terkait persoalan yang terjadi di UIN Alauddin Makassar belakangan ini.

Melihat salah satu narasumber yakni Rocky Gerung dalam kegiatan “Dialog Kebangsaan” yang di selenggarakan oleh presiden BEM FH-UMI (29 Agustus 2024). Setelah Muh. Reski selaku Sekretaris Jenderal DEMA UIN Alauddin Makassar menanyakan bagaimana pandangan Rocky Gerung mengenai persoalan yang terjadi di UIN Alauddin Makassar, tepatnya mengacu pada  SE 259 Tahun 2024 serta skors yang diberikan kepada 18 mahasiswa yang terindikasi mengikuti aksi demontrasi.

“Di dalam modus kritisisme yang sama dia di Skors, apa bedanya Pak Sultan dengan mahasiswa. Dua-duanya sivitas akademika semua sivitas akademika punya hak yang sama hak akademis yang sama untuk mengucapkan pikiran, itu dasarnya. Jadi Rektornya gak tau apa yang disebut Sivitas Akademika,”  Ujar Rocky Gerung .

Rocky Gerung juga menjelaskan arti dari Akademika adalah berpikir, Civitas yang berarti menghidupkan pikiran.

“Jadi itu Rektor itu justru dia membatasi akan kader dia sendiri dengan menskorsing mahasiswa kan tolol rektornya,” Tegasnya.

Akademikus ini juga mempertanyakan logika yang ada atas adanya skorsing tersebut.

“Coba anda ambil logika paling radikal, dia skors semua mahasiswa terus dia mau bincang-bincang dengan siapa? sebagai rektor nilainya apa kalau gak ada mahasiswa. Rektor disebut rektor karena ada mahasiswa itu ontologinya begitu,” Sambungnya.

Rocky Gerung juga menjelaskan bahwa mimbar akademisi itu mimbar semua orang di dalam kampus yang punya dalil, bukan mimbar profesor bukan mimbar rektor. Karena itu disebut mimbar akademis, semuanya di ucapkan dengan kekuatan argumen, ketika dia (Rektor) punya sentimen artinya nggak mampu memakai argumen.

“Memecat, mengskors mahasiswa itu respon yg sentimen, kapan mahasiswa bisa diDo? Ya kalau dia bodoh, kalau dia dungu. Bukan karena dia Aktivis, bukan karena dia demo, gak ada prinsipnya di seluruh dunia,” Jelasnya.

Akademikus ini juga menjelaskan kapasitas seorang rektor adalah menuntun perdebatan nasional, bukan mengeluarkan surat-surat (SE 259) yang seperti itu baiknya di buang saja, di sobek-sobek saja.

“Kalau masuk pengadilan saya akan menjadi saksi ahli untuk membela kalian dan saya pastikan kalian pasti akan menang, karena gak ada dasarnya melarang orang berpikir, berpikir di sebut pikiran kalau ada pertengkaran pikiran, mahkomnya di situ,” Tegas Rocky Gerung.

“Jadi tumbuhkan kebiasaan berpikir kritis hanya dengan itu kita bisa ucapkan bahwa Indonesia sudah di temukan kembali karena alasan untuk kita merdeka karena kita ingin berpikir di luar pikiran kolonial, yang mau membatalkan pikiran-pikiran kritis itu cuma kaum kolonial, nah rektornya itu kaum kolonial,” Tambahnya.

Rocky Gerung menginginkan supaya kemerdekaan berpikir bukan sekedar dijamin tapi di anjurkan oleh rektor, konstitusi menjamin kemerdekaan berpikir, DIJAMIN!!.

“Siapa yang mesti mengaktifkan kemerdekaan berpikir yang di jamin konstitusi? ya rektor!! Itu intinya,”  Tegasnya.

Jika masih diperlukan, artikel selanjutnya akan membahas dan mengkaji mengenai SE 259 dan 18 Mahasiswa yang di skorsing.

SALAM HUKUM III NEWTON!!

SALAM AKSI REAKSI!

Editor: Putri Nur Sabrini Anastasia

Shandy Ali Anarkhi
Shandy Ali Anarkhi
Articles: 14