Sejarah Singkat Cahaya (A Brief History of Light) Part 1

Cahaya adalah gelombang elektromagnetik yang tidak membutuhkan udara, air atau medium apapun untuk merambat. Mereka dapat bergerak dalam ruang hampa. Tapi pernahkah kalian bertanya-tanya, kapan manusia pertama kali meneliti cahaya? Bagaimana cahaya mampu membuat kita melihat sebuah objek? Bagaimana kaitan cahaya dengan warna objek yang beragam? Mengapa dalam keadaan tanpa cahaya kita tidak mampu melihat objek?

Pertanyaan-pertanyan ini adalah kalimat yang sering muncul dalam upaya untuk memahami cahaya telah berlangsung selama puluhan abad lalu. Upaya pertama datang dari para filsuf di Yunani dan Mesir sekitar 800-200 SM, kemudian para cendekiawan muslim. Kemudian para ilmuwan masa pencerahan pada 1500-1800 M dan masa sains modern pada 1900-2000 M melanjutkannya.

Periode Pertama: Yunani dan Mesir (800-200 SM)

Peradaban Yunani berkembang di wilayah Mediterania timur, membentang dari Athena di Yunani ke Anatolia, Suriah, dan Mesir. Pada masa ini, para filsuf terutama Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa lebih baik memikirkan daripada mengamati alam termasuk cahaya. Selain itu mereka masih terpengaruh dengan hal-hal mistik seperti dewa-dewa sehingga pengamatan mereka sama sekali belum ilmiah. Meskipun begitu terdapat benih tradisi pengamatan ilmiah sebelum masa mereka di wilayah Ionia yang terkenal sebagai peradaban Pra-Sokratik dengan tokoh-tokoh seperti Thales (624-545 SM), Anaximandros (610-546 SM), Pythagoras (570-495 SM)  hingga Demokritus (460-370 SM).

Ilustrasi cahaya berasal dari mata
Ilustrasi cahaya berasal dari mata

Studi paling awal tentang cahaya berkaitan dengan pemahaman penglihatan. Misalnya, orang Mesir kuno percaya bahwa cahaya adalah aktivitas melihat dewa matahari, saat matanya terbuka hari menjadi siang dan saat tertutup hari menjadi malam. Beberapa filsuf pada masa ini berpendapat mengenai cahaya dan teori penglihatan yakni Demokritus (460-370 SM) percaya bahwa bayangan visual tidak muncul secara langsung di mata, tetapi di proyeksi oleh udara antara objek dan mata yang mengamati. Epicurus (341-270 SM) mengusulkan bahwa atom mengalir terus menerus dari objek ke mata. Sebuah teori alternatif penglihatan dari Plato (428-328 SM) dan para pengikutnya termasuk Ptolemy (90-168 M) menganjurkan bahwa cahaya terdiri dari sinar yang dipancarkan oleh mata. Penyorotan sinar pada objek memungkinkan kita untuk melihat hal-hal seperti warna, bentuk, dan ukuran objek. Inilah inti dari teori ekstramisi cahaya selama hampir 1000 tahun sampai Al-Khaitam secara meyakinkan membuktikan bahwa itu salah.

Periode Kedua: Periode Islam (750-1300 M)

Al-Qur’an  sebagai firman Tuhan mengisyaratkan kepada manusia untuk merenungkan alam semesta dan mencari ilmu melalui firman seperti “Dan katakanlah, Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku”. QS. Thaha ayat 114 dan “Dia (Tuhan) telah menundukkan untukmu, apa yang ada di langit dan di bumi; sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir” QS. Al-Jasiyah ayat 13.

Zaman Keemasan Islam sains dikaitkan dengan khalifah Abbasiyah Harun Al-Rashid (763-809 M). Ia membangun Bayt Al-Hikmah (Rumah Kebijaksanaan) di Baghdad yang bertujuan sebagai pusat kajian ilmiah dan perpustakaan umum tempat buku-buku dari semua peradaban terdahulu dan menerjemahkan dalam bahasa Arab. Ini termasuk teks-teks lama dari India, Yunani, dan Persia di bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran, dan optik.

Al-Kindi (800-873 M) menjadi orang pertama yang melakukan studi serius di bidang optik dan teori penglihatan. Karyanya tentang optik De Aspectibus dalam terjemahan Latin, memberikan pengaruh yang kuat pada optik Islam dan Barat sepanjang abad pertengahan. Al-Kindi mengikuti pendapat Ptolemy dengan geometri berguna untuk menjelaskan fenomena seperti penglihatan, pemantulan, pembiasan, bayangan, dan cermin.

Hukum Snellius

Hukum pembiasan (Hukum Snellius) adalah hukum penting yang berkaitan dengan perambatan cahaya antara dua media dengan indeks bias yang berbeda. Indeks bias suatu medium berbanding terbalik dengan kecepatan cahaya dalam medium tersebut. Hukum pembiasan dengan demikian membentuk dasar untuk memahami pembelokan sinar cahaya dari berbagai jenis lensa. Penghargaan atas penemuan hukum pembiasan diberikan kepada Willebrord Snellius (1580-1626 M). Namun penelitian terbaru menunjukkan bahwa hukum ini ditemukan lebih dari 600 ratus tahun sebelumnya selama zaman keemasan islam oleh seorang ilmuwan bernama Abu Sad Al Alla Ibn Sahl (940-1000 M). Dia menulis risalah On Burning Mirrors and Lenses pada tahun 984 M yang membahas sifat pembiasan dari cermin.

Perkembangan Cahaya

Perkembangan penelitian tentang cahaya dan optik selanjutnya dilakukan Abu Ali Al-Hasan ibn Al-Hasan ibn Al-Khaitam (965-1040 M), yang terkenal di barat sebagai Al-Khaitam. Ia sering terkenal sebagai fisikawan terbesar antara periode Archimedes dan Newton. Al-Khaitam adalah orang pertama yang mengikuti metode ilmiah dengan pengamatan sistematis fenomena fisik dan hubungannya dengan teori, sehingga mendapatkan gelar ilmuwan pertama dari banyak orang. Kontribusinya yang paling penting dalam optik adalah bukunya kitab Al-Manzir (Buku Optik) yang telah selesai sekitar tahun 1027 M. Buku ini paling berpengaruh dalam transisi dari gagasan Yunani tentang hal tersebut dan penglihatan ke optik modern. Buku optik Al-Khaitam diterjemahkan dalam bahasa Latin pada akhir abad kedua belas dengan judul De Aspectibus dan menjadi buku paling berpengaruh dalam optik sampai buku Newton berjudul Opticks diterbitkan pada tahun 1704 M.

 

Ilustrasi cahaya berasal dari sumber cahaya
Ilustrasi cahaya berasal dari sumber cahaya

Al-Khaitam membuktikan kesalahan teori Plato dan Ptolemy bahwa cahaya berasal dari mata dan menunjukkan bahwa cahaya sebenarnya berasal dari sumber cahaya. Ia melakukan ini dengan melakukan eksperimen sederhana di ruangan gelap, ketika cahaya melalui lubang oleh dua lentera yang ada pada ketinggian berbeda di luar ruangan. Dia kemudian bisa melihat dua titik di dinding yang sesuai dengan sinar cahaya yang berasal dari setiap lentera yang melewati lubang ke dinding. Ketika dia menutupi satu lentera, titik terang yang sesuai dengan lentera itu menghilang. Dengan demikian ia menyimpulkan bahwa cahaya tidak memancar dari mata manusia, tetapi dipancarkan oleh benda-benda seperti lentera dan bergerak dari benda-benda ini dalam garis lurus. Berdasarkan eksperimen ini, ia menemukan kamera lubang jarum pertama (yang Kepler akan gunakan dan sebut kamera obscura pada abad ketujuh belas) dan menjelaskan mengapa gambar dalam kamera lubang jarum terbalik.

Editor : Putri Nur Sabrini Anastasia

Basmanto
Basmanto
Articles: 1