Setelah sibuk merayu waktu
Berjibaku dengan rutinitas harian yang menyita masa
Pulang-pulang melepas sepatu lusuh yang 10 tahun lalu menjadi kado pertama darimu
Di pintu ruangan minimalis berisikan buku-buku dari sederet pemilik tangan berpena
Perpustakaan mini yang kau desain indah dan nyaman untuk dikunjungi.
Kau berdiri menatap kearah jarum jam
Mencuri pandang padaku yang menunggu kopi di pelataran rumah karya kita.
Bisa ku tebak kau baru saja selesai melakukan ritual keingintahuanmu
Menelanjangi abjad-abjad yang ada
Korneamu basah, kau membaca buku di rak kedua sebelah kiri bukan?
Ah,kau selalu begitu, jika tak serius wajahmu akan menjadi sungai yang mengalir deras.
Seduhanmu selesai, kopi kunikmati.
Lalu, kau melempar sungging di antara pahitnya rasa kopi yang ada
Mulai berdendang tentang penatnya menjadi puan
Menanggung beban dari stigma sosial yang tak sudah-sudah
Yang kata mereka, jika tak bunting kau gagal menjadi manusia berwajah perempuan.
Seperti pada catatanku sebelumnya
Setelah menemukanmu diantara kehilangan berkali-kali
Kau tak hanya cerdas merawat luka
Tapi karena kau melahirkan anak-anak kata, juga cerdas disini dan disana.
Setelah petualang yang berulang-ulang
Berpanjang tangan mencari ketenangan
Setelah tapak memapak hingga di kota tua Diwajahmu aku menemukan rumah.
Aku selalu suka, kapan dan dimana saja
Bertukar pikiran denganmu adalah rangkaian keindahan yang meneduhkan
Menikmati dengan seksama sabda yang kau utarakan, politik, hukum, budaya, agama dan deretan kisah apik yang tersaji di depan mata.
Seperti komat-kamit membaca mantra
Ranummu adalah sihir yang menenggelamkan.
Di wajahmu, aku menemukan hal yang tak kutemukan dijalan-jalan.
Begini saja sayang, menjadi penawar dari keraguan, menjadi kawan yang menyenangkan.
Dengan caramu, kau adalah not-not yang melengkapi nada kita.
Kelak, kita bertolak menuju batavia dan banda neira.
Ada bocah-bocah yang duduk dipangkuan.
Bukan berbentuk kata, tapi wajah yang nyata.
Editor : Syafirah Rahmadani