Nilai demokrasi bertentangan dengan karakteristik otoritarianisme. Sebab, demokrasi adalah ruang bersama untuk mengolah kebebasan. Sedangkan otoritarianisme adalah ruang otoritas yang mengklaim definisi “tentang kebebasan”. Pada demokrasi, kebebasan dapat bekerja. Dalam otoritarianisme, kebebasan hanya ditentukan oleh hierarki otoritas. Di samping itu, demokrasi berjalan bila kedaulatan diberikan penuh oleh “individu” yang adalah bagian dari warga negara. Sebaliknya, bila klaim kebenaran hanya di pihak otoritas, maka janji kedaulatan dari warga negara cuma ditentukan diruang-ruang otoritas. Disinilah kita melihat, bahwa nilai demokrasi tidak mungkin bekerja maksimal, bila kebebasan hanya ditentukan di lingkaran otoritas. Karena bagi sistem otoritarian, kebebasan hanya boleh berjalan diantara kepentingan hierarki sosial, kepentingan individual mesti diabaikan. Dengan kata lain, demokrasi dan otoritarianisme saling membatalkan prinsipnya masing-masing.
Hari ini otoritarianisme bersembunyi pada lapisan dinding demokrasi. Dan potensi akibat dari persembunyian itu dapat menghasilkan mutasi “hegemoni doktriner”. Semacam “virus” yang berjuang mempertahankan hidup, lalu mewarisi informasi pada keturunannya. Yaitu informasi yang disebar melalui keturunan “otoritas politik”. Terlebih bila mutasi itu adalah hasil dari rekombinasi antara otoritarianisme dan totalitarianisme. Tetapi, otoritarianism berbeda dengan totalitarianism. Namun, doktrin mereka hampir identik satu sama lain. Otoritarianism mengendalikan ruang-ruang mikro sosial. Sedangkan totalitarianism, mengekang seluruh kehidupan publik maupun private warga negara. Totalitarianisme memiliki satu kebenaran tunggal yaitu seluruh sistem operasi dan kontrol berada di tangan negara. Bendera partai, kepemilikan ekonomi dan ruang-ruang komunitas kehilangan hak pluralitasnya. Sehingga, bukan hanya ada pilihan “hitam dan putih” melainkan hanya boleh memilih “abu-abu!”. Dan itu digambarkan oleh sebuah novel dari “George Orwell, 1948”. Pada novel itu diceritakan bahwa, aktivitas warga negara diawasi disetiap sudut ruangan, gedung dan jalan dengan alat yang bernama “Teleskrin”. Warga negara yang dinilai tak setuju, atau hanya dengan ekspresi wajah yang dianggap melawan pemerintah, akan segera diringkus oleh “Polisi Rahasia”. Itu adalah ilustrasi ideologi pada abad 20, ketika eropa dikuasai oleh fasism dan komunism. Dengan kata lain, totalitarianism bukan hanya mengekang kebebasan, tetapi juga mencekik sampai ke taraf psikis manusia.
Disinilah soalnya: seolah-olah demokrasi hendak dirayakan sebagai pilihan nilai bernegara. Tetapi disaat yang sama, gejala-gejala kebijakan dari negara tidak menunjukkan nilai-nilai itu. Justru sebaliknya, yang terlihat adalah gejala infeksi otoritarianism dan mulai meluru menjadi semi-totalitarianism. Coba kita deteksi beberapa gejala infeksi mutakhir hari-hari ini: Yang pertama, hukum dilanggar secara prosedural untuk meloloskan putra presiden demi kompetisi pemilu sebagai calon wakil presiden. Kemudian, keputusan pemindahan Ibu Kota Negara tanpa dialog publik yang terbuka. Lalu, pernyataan presiden yang menolak oposisi (Checks and Balances). Dan ucapan itu kompatibel dengan partai-partai besar yang merangkap masuk ke istana. Dengan kata lain, negara memakai hukum demi kepentingan kekuasaan, bukan dengan menempuh jalur keadilan. Akibatnya, etika politik yang gagal merambat diruang publik akan menghasilkan “bakteri politik” yang kotor sebagai stigma buruk di masyarakat. Padahal “kesucian harapan” hanya digantungkan oleh kebijakan politik di ruang publik. Karena, ide keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran hanya dapat didistribusikan oleh para elite politik. Kesulitan ini menghasilkan refleksi kita tentang konsep dasar bernegara.
Negara ini dirancang untuk menghasilkan “keadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat Indonesia”. Artinya, secara implisit negara ini adalah negara “demokrasi sosial”, bukan “demokrasi libertarian”. Dengan kata lain, sistem ekonomi bangsa ini adalah “sosialistis”, bukan “kapitalistis”. Oleh karena itu, negara memiliki wewenang untuk mengolah kompetisi pasar dimasyarakat. Yaitu, campur tangan negara terhadap “korporasi” dan tidak hanya sekedar “mengambil pajak”, tetapi juga, negara wajib menyelenggarakan “pedoman ethic” dalam bentuk “demonstrasi hak” bagi buruh, dan membuat regulasi pada kapital. Tetapi sesungguhnya, tugas negara adalah mendistribusikan hasil pajak itu ke warga negara yang kurang beruntung dalam relasi-sosial-masyarakat, bukan justru menggelapkan hasil pajak itu dengan “kepentingan politik”. Disamping ini, konstitusi berjanji: mencerdaskan kehidupan bangsa dan merawat fakir miskin. Jadi, negara seharusnya “membangun kecerdasan manusia” sebelum “membangun jalan tol”. Bukan merampok hasil pajak “warga negara” tetapi menyalurkan “cahaya kemakmuran” pada rakyat.
Selain itu, kita ingin membayangkan efek dari pemindahan Ibu Kota Negara di Kalimantan, satu paket dengan produk hukum yang dianggap “setengah matang” (Omnibus Law). Mahkamah Konstitusi menyebutnya: “inkonstitusional bersyarat”. “Dua bakteri hukum” ini bukan hanya mengeksploitasi manusia, tetapi juga mengeksploitasi seluruh “ekosistem penghasil kehidupan”. Buruh adalah kelas-sosial-masyarakat yang paling rentan termarjinalkan oleh produk hukum ini. Terlebih setelah Omnibus Law disahkan sebagai undang-undang. Juga masyarakat adat, pasti kearifan lokalnya akan terganggu. Karena akan terjadi “transmigrasi sosiologi” besar-besaran, dan “transformasi arsitektur” yang lebih modern. Kemudian pohon, burung dan sungai-sungai akan mati ditangan industri ekstraktif. Padahal sekarang, dunia sedang berpindah paradigma ekonomi. Keluar dari sistem ekonomi kotor, menuju ke sistem “ekonomi hijau”. Yaitu keadilan lingkungan, kemakmuran manusia dan kesehatan bumi. Dan “Perjanjian Paris” adalah perjanjian negara-negara secara hukum mengenai lingkungan hidup dalam upaya menyikapi perubahan iklim hari-hari ini. Kebijakan negara bukan hanya sekedar mengeksploitasi “kelas-produksi-ekonomi”, tetapi juga membunuh “keunikan budaya lokal” dan “kehidupan ekologis”.
Seperti dalil: “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”. Bahwa kekuasaan cenderung korup, karena itu “transparansi kebijakan” mesti selalu dipersoalkan di ruang publik. Sebab, fungsi republik adalah mengaktifkan ruang hidup bersama. Kampus adalah salah satu instrumen publik yang seharusnya pertama-tama menjadi “vaksin skrutinisasi” argumen publik yang disembunyikan, atau bahkan dimanipulasi oleh penguasa. Kampus harus menjadi “mata air kritis” bagi masyarakat yang tidak memiliki alat “analitik” atau “metodologi” dalam mencerna informasi yang beredar di ruang publik. Supaya potensi konsumsi informasi yang keliru dapat difilter oleh masyarakat. Tentu saja ini bukan hanya sekedar tugas akademisi, tetapi semacam “dorongan etis” bagi mereka yang memiliki “kapasitas kepakaran” sebagai intelektual dan pendidik.
Kampus adalah tempat kejujuran dan akal ditempah. Tempat kebebasan pikiran diasah dan dirawat. Tempat metodologi ilmu pengetahuan dipupuk, tempat seluruh potensi kreativitas dituangkan, tempat imajinasi yang sukar diliarkan. Jadi kampus adalah “teritori lalu-lintas pikiran” untuk menuangkan seluruh ide, gagasan dan kreativitas. Dengan bentuk ekspresi apapun. Tetapi hari-hari ini yang terjadi sebaliknya, kampus bukan hanya sekedar memelihara “arogansi hierarki”, tetapi juga merawat “hegemoni otoritas”. Yaitu seolah-olah “definisi kebaikan” merupakan kewajiban untuk tunduk dan patuh terhadap sistem nilai yang berlaku. Padahal seluruh gambaran “bentuk ketaatan” yang menyelinap pada sistem yang “dilembagakan” adalah hasil manipulasi otoritas. Yaitu klaim etis sebagai “dogma moral” sebagai syarat menjadi subjek yang taat. Karna itu, potensi nalar untuk berfikir kritis kemudian berhenti karna ruang-ruang akademik dihipnosis oleh “kultur feodal”. Kesulitannya adalah pengertian tentang “fungsi profesi” diruang kelas dicampur aduk dengan “fungsi subjek” sebagai “individu kultural”. Karena itu, dialektika ilmu pengetahuan tidak terjadi karna terdapat jarak “hierarki moral” antara yang “tua” dan “muda”. Karena itu, potensi kejerhinan pikiran batal oleh arogansi otoritas. Akibatnya, kemewahan intelektual berubah menjadi “kepatuhan palsu”.
Di era sekarang, kita gagal melihat konsep “etika” secara utuh. Etika dianggap identik dengan “ketaatan”. Yaitu seseorang itu baik sejauh ia mematuhi “kemapanan sistem”. Padahal kita mesti mempertanyakan ulang nilai moralitas dari sistem itu. Karena, begitu banyak pelanggaran etika dari “legalitas produk” otoritas dan kekuaasan. Korupsi adalah pameran imoralitas tertinggi di panggung publik. Oleh karena itu, moralitas mesti berada diatas hukum yang tak adil. Sialnya, penyimpangan “politik-hukum” ini tersirat di benak publik sebagai hal normal. Psikologi itu terjadi karena, jiwa masyarakat sedang mengidap “hipnopedia”. Yaitu keadaan jiwa yang sedang pada “fase hipnosis” dalam menerima sugesti untuk diprogram sedemikian rupa, entah oleh ketidakpercayaan pada elite politik atau karena “algoritma teknologi”. Hasil dari stimulus itu menghasilkan “kepasifan massal”. Akibatnya nalar kritis masyarakat mengalami “kelumpuhan total”. Jiwa manusia bukan hanya disistematisasi dalam bentuk intervensi psikologis, tetapi juga menghasilkan “pikiran oportunistik”. Bahayanya, fungsi individu sebagai “masyarakat demokratis” terdegradasi kapasitasnya sebagai subjek yang mandiri dan bertanggung jawab atas kehidupan mereka sendiri. Dengan demikian, kita masuk ke dalam “delusi totalitarianism”.
Dalam sejarah perjalanan demokrasi, jejaknya dapat ditelusuri pada era Yunani kuno, juga di era Romawi dalam bentuk Republik sebelum menjadi Kekaisaran Romawi. Dengan banyak karakteristik yang dikenal dalam sistem demokrasi saat ini. Salah satunya adalah senat yang ditentukan oleh rakyat, kendati hanya sekelompok orang yang memiliki “hak istimewa” pada waktu itu. Selain itu, pada abad pertengahan di Inggris terdapat tuntutan dalam bentuk dokumen “Magna Carta” untuk membatasi kekuasaan raja. Isi dokumennya adalah bahwa setiap orang harus dihukum berdasarkan hukum negara, bukan berdasarkan kehendak raja. Kemudian, pada abad pencerahan, puncak awal kebangkitan demokrasi terjadi di eropa setelah revolusi sosial di Prancis. Revolusi Prancis adalah kualitas sejarah perubahan total dari “Kedaulatan Raja” menjadi “Kedaulatan Rakyat”. Peralihan sosiologi ini menghasilkan prinsip solidaritas yang radikal, yaitu: “Kesetaraan, Persaudaraan, Kebebasan”. Bahwa “kedaulatan” tidak melekat pada kekuasaan raja atau otoritas, juga tidak pada mayoritas, tetapi “full stop” pada “rakyat yang setara”. Perubahan sosial itu merubah seluruh mental “hierarki sosial” pada masyarakat demokratis. Yaitu bahwa setiap warga negara wajib menghormati “martabat individu” yang “dilembagakan” dalam “merawat perbedaan” demi kepentingan bersama. Dan ini menghasilkan transformasi hak beserta kebebasan di dalam suatu masyarakat yang plural.
Sekali lagi, demokrasi adalah udara yang kita hirup, nafas politik yang kita jaga. Demokrasi adalah tempat argumen dipertengkarkan oleh orang-orang rasional. Demokrasi bukanlah tentang persetujuan, tetapi tentang merawat perbedaan. Konflik, perjuangan dan perubahan adalah nilai intrinsik dalam proses demokrasi. Dalam demokrasi, pikiran kritis harus terus diucapkan sebagai pikiran alternatif terhadap kekuasaan. Sebab, rezim cenderung memalsukan masa lalu, masa kini, masa depan dan “memalsukan statistik”. Bahkan di era “post-truth” kebohongan informasi dimodifikasi sedemikian rupa secara ilmiah agar kekeliruan informasi itu tak terlihat. Kita sedang menuju masyarakat yang “distopia”, dimana kesadaran kita dihegemoni oleh layar-layar smarthphone untuk menghasilkan “kepatuhan massal” dalam suatu populasi. Sehingga setiap orang diberlakukan berperilaku sama seperti algoritma mesin. Jadi, teknologi membuat manusia terdegradasi sebagai “makhluk eksistensial” dan juga teknologi membuat manusia “diperalat” untuk tidak mempersoalkan kebohongan penguasa. Waktu akan memberi tahu, dunia masa depan akan menyaksikan, pertarungan hebat antara teknologi, psikologi dan kekuasaan.
Penulis: Fahrur Razi
Editor: Putri Nur Sabrini Anastasia
Referensi:
Totalitarianism and the Modern Conception of Politics: Michael Halberstam. Yale University Press, 1999. Professor Richard King, (reviewer no.200) University of Nottingham. Aldous Huxley And George Orwell on the Political use of Technoscience: Michel Weber. Cosmos and History: the jurnal of Natural and Social Philosophy, vol .15. no.1, 2019. Rousseau, Robespierre, and French Revolution: James Read, Florida Atlantic University, issue No.5 (Spring 2018). Academy of ideas: Manufacturing of mass; Obedience and the Rise of Authoritarianism. Corporate Accountability Lab: Environmental, Labor & Human Rights.